Rabu, 29 Desember 2010

Hubungan Atribusi Diagnosis Klinis Antara Penderita Schizophrenia di Amerika Afrika dan Selain Amerika Afrika



Stevent J.Trierweiler and Harold W.Neighbours                                    Cheryl Munday
               Universitas Michigan                                           Universitas Michigan

Estina E.Thompson                                                            Victoria J.Binion      
          Universitas Michigan                                           Universitas Michigan

John P.Gomez
Universitas Michigan

Penulis memeriksa diagnosis schizophrenia dari 292 penderita penyakit jiwa di komunitas besar warga Amerika-Afrika. Klinisi telah melengkapi dengan kuisioner  respon bebas yang menggambarkan kesimpulan diagnosis mereka. Gejala ( symptom ) psikotik seperti berbagai macam halusinasi, yang menunjukkan angka berbeda antara atribusi penderita di Amerika-Afika dan selain Amerika-Afika, tidak perlu disesuaikan dengan perbedaan-perbedaan di tingkatan diagnosis. Lebih baik simptom ini tidak dibedakan menjadi atribusi yang berbeda antara kelompok yang menerangkan angka yang tinggi terhadap penderita schizophrenia di Amerika-Afrika. Atribusi-atribusi dari gejala ( symptom ) negatif menunjukkan perbedaan yang besar antara penderita Amerika-Afika dengan selain  Amerika-Afika di angka diagnosis schizophrenia, gangguan menimbulkan pemikiran nilai yang sama antara dua kelompok penderita. Penelitian logis tentang agresi mengusulkan adanya perbedaan jumlah model keputusan yang dapat digunakan untuk membedakan penderita.




TEORI
Menggunakan atribusi untuk menegaskan kecenderungan yang memberi dugaan dengan mendiagnosis karakteristik terhadap penderita schizophrenia.

METODE
 Wawancara terstruktur dengan cara berinteraksi dengan para penderita, observasi ketika wawancara berlangsung, data penderita dan informasi-informasi yang mendukung.
Sample :
292 penderita remaja dari dua rumah sakit di daerah Midwest.
64 % Pria warga Amerika-Afrika
36 % Wanita warga Amerika-Afrika
51 % Pria selain warga Amerika-Afrika
49 % Wanita selain warga Amerika-Afrika
Klinisi berasal dari kota dan rumah sakit yang sama, yang dididik selama 3-4 tahun, berpengalaman miniman 2 tahun dalam menganalisis populasi penderita.
Diambil secara random ( acak ).
Cara :
Petunjuk wawancara :
Wawancara berlangsung selama 35-40 menit untuk mendiagnosis. Kembangkan ide yang kau pilih, sesuai dengan situasi dan kondisi. Pertimbangkan diagnosis yang kemungkinan muncul, seperti depresi, mania, gangguan kepribadian antisocial, schizophrenia, dan gangguan korban kekerasan. Kemudian, jawab pertanyaan berikut :
  1. Pikirkan apa saja yang dikatakan penderita, apa yang lebih  mempengaruhi diagnosismu ?
  2. Pikirkan apa saja observasi yang kamu amati ketika wawancara berlangsung, apa yang lebih mempengaruhi diagnosismu ?
  3. Pikirkan apa saja observasi yang telah kamu dengar ketika wawancara berlangsung, apa yang lebih mempengaruhi diagnosismu ?
  4. Setelah semua diakukan, factor tunggal apa yang paling mempengaruhi diagnosismu ?

DISKUSI
Setelah dilakukan penelitian, disimpulkan bahwa terdapat perbedaan respon antara penderita yang berasal dari Amerika-Afrika dengan yang selain Amerika-Afrika. Halusinasi dan gangguan Paranoid/ kecurigaan yang berlebihan lebih sering muncul pada penderita Amerika-Afrika, suasana hati yang tinggi, dan kombinasi antara Gejala negative lebih sering terdapat dalam atribusi penderita selain Amerika-Afrika. Terdapat perbedaan antara penderita Amerika-Afrika dalam probabilitas diagnosis schizophrenia

KOMENTAR
Kelebihan jurnal ini adalah
  1. Jurnal ini menggunakan pengertian konseling yang telah dijelaskan oleh L.R.Wolberg yaitu konseling dikategorikan dalam bentuk wawancara. 
  2. Memberikan panduan wawancara ( guide wawancara ) walaupun tidak begitu rinci hingga dalam penyusunan kalimat pertanyaan yang diajukan, setidaknya dberikan petunjuk menemukan tujuan dari wawancara yang dilakukan, sekiranya pertanyaan tidaklah melenceng jauh dari tujuan, sebagai tambahan pengetahuan baru kepada para peneliti untuk mempermudah melakukan konseling terhadap pederita shcizoprenia.
  3. Sebelum jurnal diterbitkan, telah dilakukan penelitian terlebih dahulu, sehingga dapat melampirkan hasil dari penelitian, memberikan gambaran kepada para pembaca aplikasi langsung dari proses konseling yang dilakukan dengan metode wawancara untuk menangani penderita shcizoprenia.
  4. Membantu konselor untuk menemukan factor tunggal yang mempengaruhi diagnosis dalam proses ( metode ) wawancara terhadap penderita shcizoprenia.
  5. Memberikan gambaran jelas mengenai hasil aplikasi metode yang dilakukan di lapangan dengan mengambil sempel warga Amerika-Afrika dan selain warga Amerika-Afrika, hingga menyertakan tebel hasil.
  6. Melampirkan metode penggabungan antara observasi dengan wawancara, meskipun observasi hanya digunakan sebagai data pendukung wawancara.
  7. Lebih bersifat piskoterapi awal daripada konseling karena mengungkap masalah empsional yang berat ( neurotic ).
  8. Memperkenalkan metode yang masih jarang digunakan dalam proses penanganan penderita shcizoprenia.
  9. Membandingkan juga dengan sample yang tidak menderita shcizoprenia.
  10. Melampirkan kategori atribusi klinis secara terperinci.
  11. Bersifat psikoterapi karena mencakup 3 sifat, yaitu klinis ( face to face, membutuhkan suasana baik ), pribadi ( perlu ‘prifacy’ dan terjamin kerahasiaannya ), dan profesional ( melalui pendidikan dan pelatihan formal), dan sesuai dengan pengertian psikoterapi ( interaksi khusus- dua orang atau lebih antara pasien / klien yang mencari bantuan karena ada masalah ).
  12. Metode psikoterapi yang digunakan yaitu mengurangi emosi yang tidak menyenangkan melalui warm relationship, dan  mendorong munculnya katarsis.


Kelemahan jurnal ini adalah
  1. Meskipun menggunakan pengertian konseling yang dikemukakan oleh L.R.Wolberg, namun hanya dikemukakan pengertian konseling dalam bentuk wawancara saja. Tidak dilampirkan secara lebih akurat mengenai kegunaan wawancara yang dilakukan, yaitu menolong klien untuk mengerti lebih jelas tentang dirinya sendiri, untuk dapat memperbaiki kesulitan yang berhubungan dengan lingkungan atau untuk dapat memperbaiki kesulitan penyesuaian.
  2. Metode yang diberikan semata-mata membantu konselor untuk menemukan factor tunggal saja, tanpa penjelasan mengenai proses.
  3. Muncul pertanyaan disebabkan kerancuan metode yang digunakan, Apakah mungkin melakukan metode wawancara pada penderita shcizoprenia sebagai metode konseling ? Namun, jikalau digolongkan dalam metode psikoterapi, maka lebih mungkin menggunakan penggalian data lain sebagai pendukung, misalnya tes proyekstif.
  4. Jenis pendekatan yang dilakukanpun samar, apabila dikatakan pendekatan langsung ( Directive Approach ) tentulah diungkapkan secara terperinci seperti telah dijelaskan Williamson dengan langkah analisis ( kerancuan, antara sudah dilakukan maupun belum, karena tidak dilampirkan kemudian dalam metode ), sintesis ( konselor tidak diberi tuntunan sama sekali mengenai tugas mengelompokkan data untuk menentukan kekuatan yang dimiliki klien dan tanggungjawab yang mungkin bisa diberikan kepada klien ), sudah menyebutkan atau mengarahkan konselor melakukan diagnosis kesimpulan,  namun langkah berikutnya justru tidak dilakukan sama sekali ( kemungkinan dikarenakan penulis terfokus hanya sebagai pengetahuan methode baru dalam menyusun guide wawancara untuk menangani penderita shcizoprenia. Kemudian proses konseling juga tidak dituliskan, apalagi kelanjutan dari konseling.
  5. Hampir menggunakan pendekatan elektik, dilihat dari strategi yang dilakukan dengan membangun hubungan koselor dan klien, interviu, assessment dan perubahan ide, namun hal yang janggal adalah mengapa hanya mengambil satu teori mengenai atribusi.
  6. Tidak menggunakan tehnik konseling dengan baik, ditunjukkan dengan metode yang dicantumkan hanya satu metode wawancara, meskipun telah mencakup observasi dalam proses wawancara, tidak menyebutkan satupun ketrampilan memulai konseling. Tidak diberi pengarahan terperinci mengenai kalimat yang mengungkapkan ajakan terbuka untuk memulai pembicaraan, pertanyaan terbuka, dorongan-dorongan kecil untuk menghidupkan suasana, mengajak klien untuk mengalihkan pembicaraan hal lain, mengikuti arah dan pokok pembicaraan klien, tindakan kesegeraan, dan petunjuk ketika dalam suasana diam. Namun, dalam point ketrampilan melanjutkan konseling dijabarkan dengan memberi petunjuk untuk mengenal perasaan klient, pertanyaan “ Pikirkan apa saja observasi yang kamu amati ketika wawancara berlangsung, apa yang lebih mempengaruhi diagnosismu ? “ secara implicit mengisyaratkan konselor untuk peka terhadap tingkah laku nonverbal klient. Tetapi tidak dilanjutkan ke ketrampilan berikutnya, tidak ada petunjuk untuk mengungkapkan perasaan sendiri, refleksi.
  7. Tidak diberikan pengarahan mengenai keterampilan yang dibutuhkan konselor dalam proses konseling.
  8. Kesimpulan ahir, yang memberikan kekurangan yang sangat jelas, yakni konseling yang cenderung mirip dengan psikoterapi, tetapi tidak bisa dikatakan sebagai methode psikoterapi.
  9. Harus dilakukan oleh terapis yang professional ( dikarenakan minimnya informasi mengenai metode ).
  10. Tanpa melampirkan tujuan psikoterapi baik secara eksplisit maupun implicit.
  11. Pendekatan yang digunakan juga tidak jelas, disebabkan oleh metode yang digunakan hanya sebatas wawancara, dan guide wawancara dibuat secara tidak terstruktur.



0 komentar: