Rabu, 29 Desember 2010

My First Resensi:)

SUJUD NISA DI KAKI TAHAJJUD-SUBUH

IDENTITAS BUKU
A.    Judul                           :           Sujud Nisa Di Kaki Tahajjud-Subuh
B.     Nama pengararng        :           Kartini Nainggolan
Biografi Singkat
Kartini Nainggolan lahir di Kisaran, Asahan, Sumatera Utara, pada 17 Agustus 1985. Putri keenam dari tiga belas bersaudara, pasangan Sanusi Nainggolan, SAg dan Waginah. Saat ini, penulis masih tercatat sebagai mahasiswi Ekonomi dan Perbankan Islam Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
C.     Penerbit                       :           DIVA Press
D.    Tahun terbit                 :           2008
E.     Tebal buku                  :           370 halaman
F.      Harga Buku                 :           Rp.37.500,00
Sujud Nisa Di Kaki Tahajjud-Subuh merupakan novel yang syarat akan muatan religius yang begitu kental dalam setiap kisahnya. Alur cerita yang sederhana, membuat pembaca  seakan sedang terbawa, dan menjalani kehidupan seperti apa yang dialami Nissa, mengingat, kisah yang dihadirkan berupa refleksi ringan dari cermin kehidupan nyata sehari-hari, beralur cerita yang bergerak searah, maju hingga mencapai ahir yang mengesankan. Didukung oleh penggunaan sudut pandang penulis yang menggunakan kata ‘Aku’ sebagai tokoh utama. Pembaca ditempatkan di posisi Nisa yang sedang menjalani skenario Allah SWT sebagai seorang An Nisa’ ( seorang wanita ). Muslimah tangguh luar biasa.
Dakwah Islam disampaikan penulis dengan menekankan makna dari sebuah kepasrahan diri atas segala ketetapan yang telah digariskan Allah SWT bagi setiap hamba-Nya. Pemaknaan setiap permasalahan akan ada penyelesaiannya dengan pendekatan diri dengan intensitas lebih disamping usaha yang terus-menerus, tanpa mengenal kata menyerah, sebagai wujud kepatuhan atas perintah-Nya semata, pembuktian diri janji muslim sejati yang tidak berputus asa dengan rahmat-Nya. Karena sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang mendirikan shalat dan bersabar.
Dikatakan pula mengenai kelapangan Allah akan pertaubatan seorang yang dibukakan pintu hidayah kepadanya. Hendaknya hidayah berupa agama dipergunakan untuk sarana kembali kepada keridhoan Allah. Tanpa kekuasaan-Nya, manusia tiada memiliki daya dan upaya melakukan apapun di dunia. Bahkan pemilihan nama tokoh utama, dengan nama lengkap Khalifah Khairunnisa pun bernilai pesan tugas penciptaan manusia ( sebagai khalifah-pemimpin di muka bumi ) dan Khairunnisa ( sebaik-baiknya manusia pada umumnya dan wanita pada khususnya ).
Seperti telah dibahas di berbagai bahasan keilmiahan, sosok wanita cenderung memiliki tingkat kestabilan emosi yang lebih rendah dibandingkan dengan kaum Adam. Kecenderungan inilah yang menjadikan kaum Hawa berpegang pada perasaan, terkadang mengesampingkan akal. Berbeda dengan jiwa seorang Nisa. Suri tauladan wanita-wanita sholihah di zaman Rasulullah SAW seakan merasuki relung-relung sanubarinya, memancar ke luar menjadi akhlakul kharimah ( akhlak terpuji ).
Betapa berartinya sebuah kehidupan, sepahit apapun itu, Tahajjud dijadikannya lentera-lentera cahaya penerang hati nan gundah dan resah tak menentu dikala cobaan menerpa, keyakinan akan janji Allah yang meninggikan derajat di sisi-Nya. Bersujud dan bermohon hanya kepada-Nya. Hingga keputusan pernikahan yang diambil di pertengahan aktifitas dakwah di lingkunganpun didasari oleh Tahajjud dan keistikharah panjang. Penyakit kronis yang dihadapi sang suami kemudian, bukan lagi menjadi batu sandungan mencapai keluarga sakinah mawaddah wa rahmah.
Dimana di era yang serba uang. Di tengah kondisi keluarga yang ekonomi carut-marut, Nisa tetap mampu mengambil keputusan dengan akal pikiran Allah. Kekhawatiran masa depan memudar sudah. Walaupun, ahir tragis dengan status ‘janda kembang tanpa keturunan’ dilakoni dengan penuh khidmad, keikhlasan dan tetap berjalan meneruskan dakwah di berbagai tempat. Hilang sudah keluh-kesah di masa belia, yang ada hanya menjalani putaran roda kehidupan dengan ikhtiar dan tawakal tak henti-hentinya. Berserah dari tahajjud hingga Subuh menjelang ( dari keterpurukan di gelapnya malam, hingga secercah harapan sinar mentari pagi menyinari dunia, mengubah duka serta asa menjadi keikhlasan ).
Gaya bahasa penulis ringan, mudah dipahami, dengan meminimalkan penggunaan bahasa-bahasa sastra nan ambigu, penuh berbagai penafsiran, yang memancing persepsi berbeda dalam pengambilan intisari. Pembaca disodorkan realitas nyata, aplikasi langsung dari sumber segala sumber hukum Islam yakni Al Qur’an dan Hadist. Beberapa kisah juga melampirkan ayat-ayat beserta perkataan Nabi SAW yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi.
Selain bermuatan religius, novel ini menyimpan makna ukhuwah Islamiyah, wujud mu’amalah ( hubungan ) antara manusia dalam proses sosial, mengingat manusia bukanlah makhluk yang dapat hidup sendiri tanpa bantuan, dukungan dari orang lain, sehebat apapun dia, sesempurnanya ia dalam penciptaan yang melebihi makhluk lain dengan karunia akal. Dikisahkan persahabatan yang dijalin Nisa bersama teman-teman seperjuangan di kampusnya. Perubahan Nisa mampu diikuti oleh perubahan orang-orang di sekitarnya. Jiwa dakwah yang memukau.

SINOPSIS
            Nisa seorang belia yang dilahirkan di keluarga sederhana dengan kesulitan perekonomian tidak menentu, mengingat profesi sang bapak, sebagai seorang guru dengan penghasilan tidak begitu besar, merangkap pembuat gula dan ibu seorang pedagang daun ubi dan pisang Banten. Pemenuhan kebutuhan berlebihan, besar pengeluaran daripada pemasukan diakibatkan oleh biaya kuliah bapaknya melanjutkan ke jenjang pendidikan strata dua ( S2 ), biaya kuliah Faisal, kakaknya di Bogor, sementara mereka tinggal di salahsatu desa di Pare-Jawa Timur. Hutang-hutang menumpuk semakin menambah beban pengeluaran. Kepercayaan bapak Nisa kepada teman dekat dengan meminjamkan uang, ternyata membuahkan tipuan belaka.
            Hal tersebut memojokkan Nisa muda dihadapan dilema pilihan, diantara meneruskan pendidikan ke tingkat universitas atau membantu orang tuanya memperbaiki perekonomian keluarga agar tegak berdiri selayaknya keluarga lain. Namun keinginan dan keyakinan kuat bapak, membuat Nisa kehilangan pilihan yang kedua untuk ikut menopang beban ekonomi, tanpa meneruskan impian remaja seusianya mengenyam pendidikan. Allah mengabulkan ikhtiar serta tawakal bapak dengan memudahkan rezeki.
            Hari yang dinantikanpun tiba, Ia berangkat dengan keterbatasan biaya, tetapi berbekal sebuah keoptimisan bahwa Allah Maha Mendengar, Maha Segalanya sehingga mampu menberikan kebijaksanaan yang tiada terduga sekalipun. Kepergiannya yang seorang diri ke sebuah kota baru, cukup jauh dari tempat keluarga besarnya berkumpul. Allahlah pengawal perjalanannya memulai perjuangan baru di bangku perkuliahan.
            Lembaran baru mulai dibuka satu persatu. Konflik pertama hadir menyegarkan. Nisa yang sedang mulai naik daun kala memenangkan sayembara lomba menulis novel, difitnah oleh orang tidak bertanggungjawab. Teror awal dilakukan melalui telephon seluler ( hp ) berupa kalimat-kalimat kemarahan. Inti dari pesan berupa keinginan pengirim supaya Nisa menjauhi Fauzi, salah satu temannya dari Fakultas Sastra. Fauzi tergolong berasal dari keluarga berada, mobil pribadinya siap mengantar-jemput Nisa kemanapun. Sementara Nisa juga berteman dekat dengan Adit.
            Teror penuh umpatan kalimat-kalimat kasar berlalu. Tetapi tidak berhenti cobaan mendera. Kali ini lebih menyakitkan. Ia benar-benar difitnah. Dijatuhkan hingga ke dasar harga diri terendah. Foto tidak pantas di pampang di dinding pengumuman. Seluruh mahasiswa kontan mencibir. Di foto tersebut nampak Nisa tanpa busana sedang berbuat asusila bersama seorang pria. Nisa yakin, di foto tersebut bukan dirinya, wajahnya memang terpajang jelas, tetapi tubuh serta perbuatan yang dilakukan, seratus persen tidak pernah dilakukannya. Ia merasa terpojok, apalagi kala kerudungnya ‘dipaksa’ dilepaskan oleh mahasiswa lain yang marah seketika melihat sosok Nisa hadir.  Ais, sahabatnyalah yang membantunya menenangkan.
            Meski demikian, fitnah ternyata lebih kejam dari pembunuhan. Ia terpuruk, lepas dari aktifitas yang mulai diminatinya. Berubah dari seorang sederhana, menjadi Nisa yang glamor, senang berbelaja, fashion. Uang kiriman orangtua di kampung sengaja diselewengkan kepada barang-barang berlebihan, seperti celana jins mahal di etalase pusat perbelanjaan. Ia halang kendali diri, lepas kontrol akal sehatnya. Keberagaman dimulai dari kewajiban menutup aurat muslimah, dijadikan simbol belaka. Dikenakan hanya di lingkungan perkuliahan.
            Aktifitas maskulin di kegiatan kemahasiswaan dalam mahasiswa pencinta alam ( Mapala ) kini digelutinnya. Pergaulan bercampur-baur dijalaninya dengan penuh kenyamanan. Dia mengaku menikmati hidup. Walaupun Nisa tetap merasa ada sesuatu yang kurang. Belum diketahuinya apa gerangan. Ditepiskannya begitu saja sesuatu itu, dengan menerima jabatan ketua Mapala. Di kalangan kaum Adam, Nisa menjadi pemimpin seluruh kegiatan rapat, mengantarkan Mapala ke organisasi kemahasiswaan yang mulai mengukir prestasi. Teman-teman Mapala awalnya meragukan kemampuannya, begitu Mapala sampai mengalami masa kejayaan, mereka dibuatnya terkagum-kagum.
            Allah tidak akan menginggalkan hamba-Nya begitu saja, tanpa hidayah. Do’a restu orangtua di kampung dikabulkan Allah. Nisa mengalami mimpi-mimpi buruk perwujudan dari penyesalan panjang di benaknya. Seorang berbadan besar, gelap, menyeramkan, lagi kasar membentaknya. Di kekalutan serta ketakutan, muncul sosok putih yang menentramkan jiwa. Segala wujudnya menyiratkan kesempurnaan penciptaan bentuk seorang manusia. Ia hanya tersenyum sembari meninggalkan Nisa termangu. Diam penuh seribu tanya. Mushaf Qur’an di tangan sosok tadi mengesankan Nisa. Ditambah Nisa sudah lama meninggalkannya. Dalam mimpinya pula dunia hancur berantakan. Beruntung Nisa segera terbangun. Keadaan baik-baik saja, kembali seperti sedia kala. Mimpi yang sangat buruk baginya. Justru memberikan kesan mendalam. Bening air mata mulai menetes membasahi pipinya. Ketidaksiapannya menghadapi maut membuatnya sangat tertekan.
            Setelah didera ketakutan mencekam di alam maya, Nisa mengalami kecelakaan sepeda motor. Seorang ibu bersepeda di tabraknya. Menurut penuturan ibu tersebut yang dinyatakan dokter dalam kondisi lebih baik dari Nisa yang belum jua sadar, Nisa jelas sekali menabraknya, dalam poosisi sepedanya berjalan di pinggir. Adit begitu mendengar Nisa kecelakaan dari Ais yang sudah sejak awal berada di samping Nisa, segera menjenguk, mendo’akan kesembuhan Nisa. Di tempat kejadian, sebenarnya Fauzi berada di sana, mengantarkan ibu tadi ke dokter dan menanyakan kronologis kecelakaan, namun ia belum mengetahui Nisa mana yang dimaksud. Sehingga Fauzi tidak segera berada di samping Nisa.
            Keheningan malam di rumah sakit, mengkondisikan Nisa kembali ke fitrahnya. Mimpi beberapa pekan lalu, surat bapak dari kampung semakin membuatnya bertekad kembali menggapai Ridho-Nya. Nasihat diiringi motivasi kuat bapaklah nan menggetarkan hati Nisa. Bagi Nisa harapan bapaknya tulus menginginkan kebahagiaannya dunia dan ahirat. Sakit akibat kecelakaan yang dialaminya bagaimanapun telah menambah beban tanggungan keluarganya. Bapak wajar jika melampiaskan kemarahannya. Namun, bapak justru memaklumi, bahkan memberikan dorongan kuat baginya. Malam itulah titik perubahan.
            Keputusan mengejutkan yang sempat ditentang teman-teman di Mapala mengenai pengunduran dirinya sebagai ketua. Semua tidak percaya akan keputusan Nisa. Keputusan bulat yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Penuh kemantapan. Permohonan maaf disampaikannya dengan berurai air mata.
            Niat Nisa bukan gertakan sambal belaka, ia membuktikan diri dengan menjadi muslimah kaffah ( menyeluruh ) dengan membenahi penampilan. Kegiatan keIslaman mulai ditekuni secara rutin. Berbagai kegiatan baru menyibukkan harinya. Ia mulai merasakan betapa indahnya ukhuwah Islamiyah, ketika mbak Nadzifa ( akhwat yang membantunya menjawab hikmah atas pemfitnahan yang dialaminya hingga kembali kepada jalan terang Ilahi Rabbi ).
            Kebahagiannya mengenal makna baru dalam hidup kembali bersamaan dengan terlambatnya pengiriman uang bulanannya dari kampung. Nisa berusaha meminimalkan pengeluaran seminim mungkin. Lapar ditanggungnya sendiri. Uang dua ribu rupiah yang tersisa, tidak mampu dikeluarkan begitu saja. Ia berusaha tabah, tiada berkeluh kesah. Shalat Dzuha dilaksanakannya dengan penuh khidmad, larut dalam kekhusyukan. Berserah kepada Sang Khalik. Sujud terahirnya, ia merasa berada di suatu tempat yang tak dikenalnya. Nisa dipanggil oleh sebuah suara, menyapa dengan salam, menyebutnya bidadari dunia. Suara halus yang bertanya tentang rasa laparnya. Setelah itu di hadapannya berbagai hidangan tersedia. Nisa dipersilahkan menghabiskan seluruhnya sendirian.
            Seusai membaca do’a sebelum makan, ia menyantap hidangan perlahan dan pasti yang dirasa begitu nikmatnya. Do’a sesudah makan kelantunkannya ketika ia telah merasa cukup kenyang. Nisa kembali tersadar. Terbangun dari tidur di sujud terahirnya. Anehnya, ia masih merasa kenyang untuk beberapa hari karenanya. Malam-malam Nisa dipenuhi oleh Tahajjud disela dengan membaca Qur’an hingga Subuh menjelang.
            Allah Maha Kaya, membukakan rizki bagi Nisa. Ada saja teman yang membantu memberikan bantuan makan. Maha Suci Allah dengan Segala Firman-Nya. Begitulah bila Allah telah berkehendak. Fauzi dan Aditpun telah dibukakan pintu Hidayahnya mulai mengikuti perubahan keIslaman. Mereka saling bertukar info-info kajian-kajian.
            Kesibukan Nisa menghadapi permasalahan-permasalahan yang timbul, menyebabkan Ais sahabatnya terlupakan. Ais yang sudah tidak satu kontrakan lagi dengannya tiba-tiba datang dengan penampilan berbeda. Wajah yang berantakan, rambut yang dicukur habis tanpa penutup hijab ( kerudung ). Ais menangis tersedu-sedu menyesali perbuatan munafiknya yang menfitnah Nisa dengan teror hingga foto-foto senonoh. Semua dilakukan atas dasar iri hati, merasa rendah diri bila di bandingkan dengan Nisa. Namun Nisa justru terlalu sibuk dengan permasalahan dan kisah hidupnya sendiri, meninggalkan Ais sendirian. Penyesalan Ais tumbuh kala keperawanannya terenggut. Ia merasa semakin terpuruk dosa. Kehinaan bertbu-tubi. Nisa mendengarkan dengan tenang, tak menunjukkan emosi, berusaha memahami kisah Ais. Baginya masa lalu sudah berlalu dan ia telah memafkan semua.
            Aispun berpamit meninggalkan Nisa yang mengajaknya bermalam. Nisa tak henti-hentinya berusaha menghubungi Aisyah ( nama panjang Ais ) dengan cara menghubungi nomor telepon kediaman keluarganya, disebabkan nomor pribadi ( hp ) Ais lama tidak aktif. Orang tua Aisyah telah mengirimkan Ais ke sebuah pesantren, pembenahan diri. Nisapun merasa tenang.
            Badai berlalu dengan cepat. Bapak di kampung tiba-tiba mengirimkan seorang mas Irsyad untuk menjadi pendamping hidup. Sebelum bertemu mas Irsyad, Nisa meragukan segalanya di diri mas Irsyad. Namun seusai pertemuan dan perbincangan di rumahnya, Nisa mendapat sedikit pencerahan. Istikharah dirutinkannya. Ketika Nisa usai mengirimkan email tentang ta’arufnya, mas Irsyad hilang kabar. Ibu mengabari bahwa mas Irsyad sakit kanker otak sebesar bola pingpong. Nisa diminta memberikan semangat motivasi hidupnya.
            Nisapun sering mengirim pesan-pesan singkat untuk mas Irsyad. Hingga pada ahirnya ia merasa ada yang salah dengan caranya. Ia meminta ketegasan dari mas Irsyad.Ternyata mas Irsyad memintanya mendampingi hidupnya. Berbagai keraguan Nisa hilang sudah, ia ahirnya meyakini mas Irsyad terbaik untuknya, tanpa peduli penyakitnya, ketakutan apapun hilang, bukan karena kasihan dan paksaan. Pernikahan mereka berlangsung dengan hidmad. Mas Irsyad memberikan mahar seperangkat alat shalat dan hafalan surat An Nisa tunai.
            Mas Irsyad pilihan terbaik Nisa melalui istikharah panjang selama lima bulan berturut-turut tampak tidak mengecewakan. Ia seorang yang tegar menghadapi penyekitnya, tanpa berkeluh apalagi menunjukkan sakitnya yang bertambah parah kian hari di hadapan Nisa. Tugas pekerjaan sehari-hari tetap dilakoni. Justru kala Nisa sakit, ia yang merawat Nisa. Wisuda sebagai puncak kelulusan Nisa dilaksanakan tanpa mas Irsyad. Di tempat berbeda suaminya terbaring lemah. Meski demikian, mas Irsyad tetap menelpon dengan suara dipaksakan untuk mengucapkan selamat kepada istrinya.
            Wisuda tidak berupa kebahagian bagi Nisa. Ia justru menemani mas Irsyad di rumah sakit. Terus dipanjatkan do’a kesembuhan. Tahajjud malam tetap ditegakkan penuh kepasrahan. Mimpi lain mulai hadir, mas Irsyad yang nampak segar memeluknya sembari tersenyum berkata bahwa ia dijemput laki-laki berwajah putih bersih dan bercahaya yang memgang buku besar dengan mengendarai kereta yang indah, mas Irsyad ditanya tentang kesiapan dirinya, dan mas Irsyad  menjawab sudah, tetapi justru orang tersebut mengatakan bahwa ia belum saatnya. Nisa terbangun dengan keterkejutan.
            Ibu Nisa meminta Nisa mengikhlaskan mas Irsyad yang telah dipasangi ventilator demi bertahan hidup. Meski awalnya Nisa keberatan, ditanya seperti itu, ia ahirnya mengikhlaskan semua. Mas Irsyad ahirnya meninggal dunia. Mas Irsyad suami sholih yang tak ingin Nisa merasa bersedih dengan kepergiaannya, maka dari itu, ia tetap bertahan. Takdirlah yang memisahkan mereka. Seperti kalimat yang sering diucapkan mas Irsyad selama sehatnya yang bermohon kepada Allah, Nisalah istrinya di dunia dan ahirat.
            Lima tahun dijalani Nisa dalam kesendirian panjang. Kegiatan sosial mulai digelutinya. Hingga aktifitas tulis menulisnya membuahkan sebuah novel. Di kehidupannya yang baru kini, ada mas Irvan bersama buah hatinya yang akan menggantikan keihklasannya selama ini.

0 komentar: