Jumat, 31 Desember 2010

KONTEKS PEMIKIRAN DAN PEMAHARUAN IBNU SINA DAN IBNU RUSYD


Disusun Oleh :
                                         Philosofia                                           
                                     Indri Puspita                                      
                                    Agustina.K.D                                     
                                         M.Allex.M                                          

I.       PENDAHULUAN
Di saat Islam mendapat serangan pemikiran falsafah dari Barat, para pemikir dan saintis Islam seperti Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina, berani keluar dari keasikan “ibadah oriented” kepada memanfaatkan akal secara maksimal dengan bimbingan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Pemikiran mereka ini menghasilkan banyaknya penemuan yang mengagumkan dunia, mereka adalah para penemu berbagai bidang disiplin keilmuan seperti matematika, sains, kedokteran, falsafah yang tidak pernah dibincangkan sebelumnya. Karya-karya mereka ada yang menjadi rujukan selama lima abad di Eropa.
Mereka adalah maskot kebangkitan filsafat dan rasionalisme Islam. Atas jasa beliau berdua, dengan filsafat, manusia mampu menemukan keagungan Tuhan melalui oleh cakrawala atas semua ciptaan-Nya. Mereka bukan saja berpikir untuk zamannya, tetapi juga berpikir untuk masa depan. Pemikirannya di satu sisi berpijak pada konteks sosial pada zamannya, tetapi di sisi lain terlihat ia ingin melampaui zamannya. Pencerahan yang disuguhkan makin kompleks. Pada mulanya pencerahan akal, lalu pada akhirnya menuju pencerahan umat.
Mengingat jasa-jasanya  dalam induk ilmu pengetahuan ( filsafat ) yang menjadikan bangsa barat terkagum-kagum, dan bergerak untuk mengembangkan, inilah yang memotivasi untuk mengetahui lebih jauh mengenai Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd. Dengan demikian, diharapkan mampu meneladani apa yang telah beliau lakukan.
II.    IBNU SINA
A. JATI DIRI
Ibnu Sina ( 980-1037 M ) adalah filsuf muslim berdarah Persia yang memiliki pengaruh sangat besar terhadap para filsuf Barat kemudian. Syeikhur Rais, Abu Ali Husein bin Abdillah bin Hasan bin Ali bin Sina, yang dikenal dengan sebutan Aviciena lahir pada tahun 370 hijriyah ( 980 M ) di sebuah desa bernama Khormeisan dekat Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan.
Sejak masa kanak-kanak, ia yang berasal dari keluarga bermadzhab Ismailiyah sudah akrab dengan pembahasan ilmiah. Pada usia lima tahun dia sudah mampu menghafal Al Quran. Meskipun dipengaruhi oleh Islam Ismaili, namun pemikirannya independen dengan memiliki kepintaran dan daya ingat yang luar biasa.
 Berkah itulah yang kemudian membuatnya menyusul para gurunya pada usia 14 tahun. Ilmu kedokteran sudah dipelajarinya sejak usia 16 tahun. Selain menguasai ilmu itu, pada usia 18 tahun Ibnu Sina sudah mengantongi predikat sebagai seorang fisikawan. Kecerdasannya yang sangat tinggi membuatnya sangat menonjol sehingga salah seorang guru menasehati ayahnya agar Ibnu Sina tidak terjun ke dalam pekerjaan apapun selain belajar dan menimba ilmu. Dia belajar dari mana saja bahkan dari seorang pedagang sayur sekalipun. Ibnu Sina menguasai berbagai ilmu seperti hikmah, mantiq, dan matematika dengan berbagai cabangnya.
Dunia menjulukinya sebagai 'Bapak Pengobatan Modern'. Hasil pemikirannya yang termasyhur adalah The Canon of Medicine atau Al-Qanun fi At Tibb. Ia juga menerjemahkan karya Aqlides dan menjalankan observatorium untuk ilmu perbintangan. Dalam masalah energi Ibnu Sina memberikan hasil penelitiannya akan masalah ruangan hampa, cahaya dan panas kepada khazanah keilmuan dunia.
Ia wafat pada tahun 428 hijriyah pada usia 58 tahun, setelah menyumbang banyak hal kepada khazanah keilmuan umat manusia dan namanya akan selalu dikenang sepanjang sejarah.

B. POKOK-POKOK PIKIRAN IBNU SINA
 Ibnu Sina mengembangkan pemikiran tentang jiwa yang sudah diawali oleh AI-Farabi, yaitu membagi jiwa menjadi tiga bagian: (1) Jiwa tumbuh-tumbuhan dengan daya makan, tumbuh dan berkembang biak; (2) Jiwa binatang dengan daya gerak dan pancaindera. Indera ada dua macam: (a) Indra luar, yaitu pendengaran, penglihatan, rasa dan raba; dan (b) Indra dalam yang berada di otak dengan fungsi: menerima kesan-kesan yang diperoleh pancaindra; menggambarkan kesan-kesan tersebut; mengatur gambar-gambar ini; menangkap arti-arti yang terlindung dalam gambar-gambar tersebut; dan menyimpan arti-arti itu sebagai ingatan; (3) Jiwa manusia dengan daya tunggalnya yaitu berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua: (a) Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam jiwa binatang; dan (b) Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan malaikat. Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi, sedangkan akal teoritis kepada alam metafisik.
Dalam diri manusia terdapat tiga macam jiwa ini, dan jelas bahwa yang terpenting diantaranya adalah jiwa berfikir manusia yang disebut akal itu. Akal teoritis mempunyai empat tingkatan: (1) Akal potensial, yaitu akal yang mempunyai potensi untuk rnenangkap arti-arti murni; (2) Akal bakat, yang telah mulai dapat rnenangkap arti-arti murni; (3) Akal aktual, yang telah mudah dan lebih banyak rnenangkap arti- arti murni; dan (4) Akal perolehan yang telah sernpurna kesanggupannya menangkap arti-arti murni. Akal tingkat keempat inilah yang dimiliki oleh para filsuf. Akal inilah yang dapat menangkap arti-arti murni yang dipancarkan Tuhan melalui Akal X ke bumi.
Sifat seseorang banyak bergantung pada jiwa mana dari tiga yang tersebut di atas berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berpengaruh, orang itu dekat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang berpengaruh terhadap dirinya maka ia dekat menyerupai malaikat. Dan dalam hal ini akal praktis mempunyai malaikat. Akal inilah yang mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat di dalamnya tidak menjadi halangan bagi akal praktis untuk membawa manusia kepada kesempurnaan. Setelah tubuh manusia mati, yang akan tinggal menghadapi perhitungan di depan Tuhan adalah jiwa manusia. Jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang akan lenyap dengan hancurnya tubuh kembali menjadi tanah. Jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang lenyap dengan matinya tubuh karena keduanya hanya mempunyai fungsi-fungsi fisik. Kedua jiwa ini, karena telah rnemperoleh balasan di dunia, tidak akan dihidupkan kembali di akhirat.
Sementara jiwa manusia berlainan dengan kedua jiwa di atas dengan fungsinya yang bersifat abstrak dan rohani. Karena itu balasan yang akan diterimanya bukan di dunia, tetapi di akhirat. Kalau jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang tidak kekal, jiwa manusia adalah kekal. Jika ia telah mencapai kesempurnaan sebelum berpisah dengan badan ia akan mengalami kebahagiaan di akhirat. Tetapi kalau ia berpisah dari badan dalam keadaan belum sempurna ia akan mengalami kesengsaraan kelak. Penalaran inilah yang mendasari faham bahwa yang akan menghadapi perhitungan kelak di akhirat adalah jiwa manusia, dan secara logis menolak adanya kebangkitan jasmani. Ibnu Sina percaya bahwa ruh bersifat abadi.

C. KONTEKSTUALISASI PEMIKIRAN IBNU SINA
Ibnu Sina menyibukkan diri dengan menulis kitab Qanun dalam ilmu kedokteran atau menulis ensiklopedia filsafatnya yang diberi nama kitab Al-Syifa’. As Syifa’ ditulis dalam 18 jilid yang membahas ilmu filsafat, mantiq, matematika, ilmu alam dan ilahiyyat. Mantiq As Syifa’ saat ini dikenal sebagai buku yang paling otentik dalam ilmu mantiq Islami, sementara pembahasan ilmu alam dan Ilahiyyat dari kitab As-Syifa’ sampai saat ini juga masih menjadi bahan telaah.
Kitab Al-Qanun tulisan Ibnu Sina selama beberapa abad menjadi kitab rujukan utama dan paling otentik. Kitab ini mengupas kaedah-kaedah umum ilmu kedokteran, obat-obatan dan berbagai macam penyakit. Seiring dengan kebangkitan gerakan penerjemahan pada abad ke-12 masehi, kitab Al-Qanun karya Ibnu Sina diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Kini buku tersebut juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis dan Jerman. Al-Qanun adalah kitab kumpulan metode pengobatan purba dan metode pengobatan Islam. Kitab ini pernah menjadi kurikulum pendidikan kedokteran di universitas-universitas Eropa.
Dikatakan juga bahwa ia memiliki karya tulis yang dalam bahasa latin berjudul De Conglutineation Lagibum. Dalam salah bab karya tulis ini, Ibnu Sina membahas tentang asal nama gunung-gunung.
Pengaruh pemikiran filsafat Ibnu Sina seperti karya pemikiran dan telaahnya di bidang kedokteran tidak hanya tertuju pada dunia Islam tetapi juga merambah Eropa. Albertos Magnus, ilmuan asal Jerman dari aliran Dominique mengenal pandangan dan pemikiran filosof besar Yunani dari buku-buku Ibnu Sina. Filsafat metafisika Ibnu Sina adalah ringkasan dari tema-tema filosofis yang kebenarannya diakui dua abad setelahnya oleh para pemikir Barat. 

III. IBNU RUSYD
A.    JATI DIRI
Ibnu Rusyd ( 1126-1198 M ) lahir di Cordova pada 1126 M dan wafat di Maroko pada 1198 M. Di dunia Barat ia lebih dikenal dengan nama Averroes. Keluarganya mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap ilmu pengetahuan. Ayah dan kakeknya pernah menjadi kepala pengadilan di Andalusia. Sejak kecil, ia telah mempelajari Al Quran, ilmu tafsir, hadis, fikih, dan sastra Arab. Ia juga pernah menjadi qâdlî (hakim) di Sevilla dan qadlî al-qudlât (hakim agung) di Cordova.
Ia muncul seabad lebih sesudah Ibnu Sina dalam komunitas muslim Spanyol. Dalam filsafat ia dikenal sangat mengagumi Aristoteles. Dalam proyek intelektualnya ia berusaha membebaskan filsafat dari perangkap-perangkap penafsiran Neoplatonis semisal faham emanasi ciptaan dari Tuhan. Ia percaya bahwa ciptaan bersifat abadi dimana Tuhan senantiasa terlibat secara aktif dalam kehidupan manusia dengan pengetahuan-Nya yang serba meliputi segalanya.
B.POKOK-POKOK PIKIRAN IBNU RUSYD
Ia percaya bahwa setelah kematian, ruh manusia bergabung kembali dengan Intelegensi Aktif universal. Jadi, keabadian jiwa terjadi bersama jiwa universal, bukan jiwa individual. Ia juga menolak ide tentang kehendak bebas. Kebenaran dipercayainya terdapat dalam berbagai tingkatan termasuk Al-Qur’an yang menawarkan kebenaran kepada segala jenis individu dengan watak yang berbeda-beda dalam cara yang berbeda- pula.
Bagi orang biasa misalnya, kata harfiah mungkin sudah cukup, tetapi bagi orang yang terdidik hal itu mungkin belum cukup, argumen-argumen persuasif bahkan demonstrasi rasional dibutuhkan. Pendiriannya ini disebut dengan doktrin kebenaran ganda. Doktrin itu pula yang dipakai menyerang pemikiran filsuf Persia Al-Ghazali (1058-1111 M) yang mengembangkan metode-metode pencarian kebenaran yang lebih bersifat mistis. Sekalipun ia mengakui, seperti halnya Ibnu Miskawaih, bahwa perbincangan filosofis tidak tepat bagi setiap orang. Terhadap tiga kritikan paling krusial dari al-Ghazali terhadap kaum filosof, Ia memberi jawaban sebagai berikut:
Pertama, ketika Tuhan menciptakan alam bukannya dari suatu ketiadaan, tetapi ketika itu telah ada sesuatu di samping-Nya yang berupa materi dasar sebagai bahan penciptaan sebagaimana ditunjukkan oleh surat Hud ayat 7, Ha Mim ayat 11 dan al-Anbia’ ayat 30. Materi asal itupun bukannya timbul dari ketiadaan, tetapi dari sesuatu yang dipancarkan oleh pemikiran Tuhan. Di samping itu, kata khalaqa di dalam al-Qur’an juga menggambarkan penciptaan bukan dari “tiada” (creatio ex nihilo), tetapi dari “ada” (misalnya surat al-Mu’minun ayat 12 tentang penciptaan manusia). Menurutnya “tiada” tidak bisa berubah menjadi “ada”, tetapi yang tepat adalah “ada” menjadi “ada” dalam bentuk lain. Sementara tentang keazalian alam yang dimaksud para filsuf adalah merujuk pada pengertian sesuatu yang diciptakan dalam keadaan terus menerus mulai dari zaman tak bermula dengan bahan dasar yang telah ada di sisi Tuhan sampai zaman tak berakhir (Ibrahim ayat 47-48).
Kedua, mengenai pernyataan al-Ghazali bahwa para filsuf berpendapat Tuhan tidak mengetahui perincian (juz’iyat) yang terjadi di alam, Ia membantah bahwa pernah ada filsuf Islam yang mengatakan demikian. Sebenarnya, yang dibahas para filsuf adalah tentang bagaimana Tuhan mengetahui perincian itu. Ulasan tentang emanasi wujud di atas kiranya cukup menjelaskan persoalan ini dari kacamata filsuf.
Ketiga, terkait dengan tuduhan bahwa para filsuf menentang ajaran kebangkitan jasmani, Ia mengatakan bahwa para filsuf muslim tak menyebutkan hal itu kemudian Ia balik mengkritik inkonsistensi pemikiran al-Ghazali. Sebab, dalam Tahafut Al-Falasifah ia menulis bahwa dalam Islam tidak ada orang yang berpendapat adanya kebangkitan rohani saja, tetapi di dalam buku lainnya ia mengatakan jika di kalangan sufi muncul pandangan bahwa yang ada nanti ialah kebangkitan rohani. Dari sini Ibnu Rusyd menilai bahwa Al-Ghazali juga tidak mempunyai argumen kuat untuk mengkafirkan para filsuf. 

C. KONTEKSTUALISASI PEMIKIRAN IBNU RUSYD
Terdapat empat hal dari pandangan-pandangan Ibnu Rusyd yang senantiasa menyegarkan dan mendewasakan wawasan keagamaan. Pertama, pluralisme dalam ijtihad. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pintu ijtihad ditutup oleh sebagian kalangan dan dipersempit dari persoalan hukum hanya menjadi persoalan hukum agama. Akibatnya, sikap taklid terhadap warisan hukum-hukum fikih yang telah terkodifikasi menjelma begitu saja menjadi wawasan sosial dan pandangan hidup. Sikap tersebut juga berawal dari kaburnya pemahaman tentang apa yang disebut agama dan pemahaman agama. Melihat fenomena ini, Ia mencoba membuka kembali batas-batas yang selama ini dikekang. ia mengudar artefak-artefak hukum fikih dari pelbagai mazhab, menganalisisnya dengan model pembacaan sosiologis-hermeneutis, menelisik akar perbedaan setiap mazhab dalam menggali dalil-dalil yang memproduk suatu hukum, kemudian menembus jantung hukum fikih itu sendiri, yaitu Al Quran dan sunah.
Dari setiap ijtihad fikih, dua elemen penting yang patut diperhatikan adalah obyektifikasi dan pertimbangan dimensi moral etiknya. Berijtihad berarti meniscayakan untuk membuka kritik dan pembenahan karena kebenaran tidak pernah final. Kesalahan yang terjadi dalam proses pergulatan akal jauh lebih baik dari sekadar menerima kebenaran dengan tanpa proses apa pun.
Kedua, kebebasan berpikir dan tradisi kritik. Ia menjadi orang yang pertama kali mengkaji, menganalisis, menjabarkan, serta mengomentari filsafat Aristoteles secara detail dan gamblang. Ia berhasil menyeimbangkan akal dan iman. Di hadapan keluhuran tradisi keagamaan dan tradisi filsafat, pandangan Ibnu Rusyd telah mengenalkan kepada kita mentalitas dan nalar abad pertengahan, baik dalam konteks Arab-Islam ataupun Latin-Yunani-Kristen. Nalar filsafat telah memainkan peran aktif dalam memelihara hak manusia untuk mengkritik dan bertanya.
Ketiga, dialog antaragama. Ibnu Rusyd mengatakan perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk melakukan dialog. Apabila kita menemukan kebenaran dari agama lain, kita patut menerima dan menghormatinya. Sebaliknya, jika kita menemukan kesalahan, maka kita patut memperingatkan dan memaafkannya. Memang, salah satu problem umat beragama adalah bagaimana berhubungan dengan umat agama lain. Dalam konteks Islam, fikih yang tersedia mempunyai dilemanya tersendiri sehingga baik secara eksplisit maupun implisit telah menebarkan kecurigaan terhadap agama lain.
Dialog antar umat agama sekarang ini semakin dirasa penting seiring meluasnya aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama. Kuatnya kesadaran agama dalam masyarakat dapat menjadi faktor pemersatu sekaligus mudah disalahgunakan sebagai alat pemecah belah. Sosiolog Muslim, Ibnu Khaldun, mengatakan, perasaan seagama memang diperlukan, tetapi tidak cukup untuk menciptakan perasaan memiliki kesatuan sosial (social belonging). Untuk itu, setiap pemeluk agama perlu mengungkapkan pandangannya secara tepat serta mendengarkan pandangan mitra dialog secara terbuka tanpa disertai dengan penilaian apriori. Melalui dialog, setiap pemeluk agama belajar dari pandangan dan pengalaman satu sama lain, karena salah satu fungsi utama agama dalam konteks sosial tidak lain adalah memberikan rasa aman kepada sesamanya.
Keempat, kontrol atas kebijakan publik. Menurutnya, Islam tidak mempunyai banyak pemikiran tentang filsafat politik, sementara sejarah perebutan kekuasaan amat dahsyat terjadi. Oleh karena itu, dengan mendasarkan diri pada filsafat politik Plato, Ia menghendaki seorang pemimpin negara adalah juga seorang filsuf.
Membaca karya Ibnu Rusyd, yang paling menonjol adalah aspek falsafaty (estetika logika dan filsafat). Menurutnya, nilai filsafat dan logika itu sangat penting, khususnya dalam mentakwilkan dan menafsirkan Al Quran sebagai kitab teks, yang selalu membutuhkan artikulasi makna dan perlu diberi interpretasi kontekstual dan bukan artikulasi lafadz.
Menurutnya Islam sendiri, tidak melarang orang berfilsafat, bahkan Al Kitab, dalam banyak ayatnya, memerintahkan umatnya untuk mempelajari filsafat. Takwil (pentafsiran) dan interpretasi teks dibutuhkan untuk menghindari adanya pertentangan antara pendapat akal dan filsafat serta teks Al Quran. Ia memaparkan, takwil yang dimaksud di sini adalah meninggalkan arti harfiah ayat dan mengambil arti majasinya (analogi). Hal ini pula yang dilakukan para ulama klasik periode awal dan pertengahan.
Dalam kaitan kandungan Al Quran ini, Ia membagi manusia kepada tiga kelompok: awam, pendebat, dan ahli fikir. Kepada ahli awam, Al Quran tidak dapat ditakwilkan, karena mereka hanya dapat memahami secara tertulis. Demikian juga kepada golongan pendebat, takwil sulit diterapkan. Takwil, secara tertulis dalam bentuk karya, hanya bisa diperuntukkan bagi kaum ahli fikir. Pemikirannya lalu dikenal sebagai teori perpaduan agama dan filsafat. Menyangkut pemaknaan atas Quran, Ia berpendapat bahwa Al Quran memiliki makna batin di samping makna lahir.
Karya-karyanya tidak kurang 50 judul buku dari berbagai disiplin. Paradigma pembahasannya dibagi dalam tiga kategori, yaitu komentar, kritik, dan pendapat. Ia dengan cermat mendekonstruksi sekaligus merekonstruksi pemikiran Aristoteles, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Bajah, bahkan Al-Ghazali.
Beberapa karya penting Ibnu Rusyd adalah Kitâb Fashl al-Maqâl fî Mâ Bayn al-Syarî`ah wa al-Hikmah min Al-Ittishâl, menguraikan keselarasan antara agama dan akal karena keduanya adalah anugerah Tuhan, Kasyf ’an Manâhij al-Adillah fî ’Aqâid al-Millah, menjelaskan secara rinci masalah-masalah teologi, Tahâfut al-Tahâfut, berisi pembelaan dari tuduhan Al-Ghazali perihal kerancuan filsafat, dan Bidâyah al-Mujtahid, sebuah studi perbandingan hukum Islam yang mengemukakan pendapat-pendapat para imam mazhab.
            Dunia barat (Eropa) pantas berterima kasih pada Ibnu Rusyd. Sebab, melalui pemikiran dan karya-karyanyalah Eropa melek peradaban. "Suka atau tidak, filosofi Cordova dan mahagurunya, Ibnu Rusyd, telah menembus sampai ke Universitas Paris," tulis Ernest Barker dalam The Legacy of Islam. Pemikiran dan karya-karya Ibnu Rusdy sampai ke dunia Barat melalui Ernest Renan, seorang penulis dan sejarawan asal Perancis. Renan, penulis biografi Rusyd berjudul Averroes et j'averroisme mengatakan, filosof Rusyd telah menulis lebih dari 20 ribu halaman dalam berbagai disiplin ilmu.
Apresiasi dunia Barat yang demikian besar terhadap karya Rusyd, kata Alfred Gillaume dalam "Warisan Islam", menjadikan Rusyd lebih menjadi milik Eropa dari pada milik Timur. "Averroisme tetap merupakan faktor yang hidup dalam pemikiran Eropa sampai kelahiran ilmu pengetahuan eksperimental modern," tulis Gillaume.

KESIMPULAN&SARAN
         Jasa kedua filosofi ini tidaklah sedikit dan patut diperhitungkan untuk senantiasa dipertahankan dan dikadikan sebagai referensi berbagai disiplin ilmu.
         Karena, atas jasa keduanyalah bangsa-bangsa di dunia (khususnya Eropa) menjadi melek peradaban.
         Pemikiran mereka merupakan sebuah Mahakarya, maka sudah sepatutnyalah kita harus mampu meneruskan tonggak perjuangan mereka.



REFERENSI
syahwat-pemikiran-pembaharu.html
 Kompas.html
Republikaonline.html
KidungPeziarah.html


0 komentar: